Cari Blog Ini

Sabtu, 06 Februari 2010

cinta tanah air menurut islam

Ketika Rasulullah Saw hendak berangkat berhijrah menuju Madinah dari Makkah beliau berkata: “Alangkah besarnya cintaku pada kota Makkah, tempat kelahiran dan tumpah darahku; andaikan penduduknya tidak mengusirku, maka pasti aku akan tetap berada di kota Makkah.”

Pernyataan di atas merupakan sebuah perwujudan dari rasa cinta beliau yang sangat mendalam kepada kota tempat kelahirannya atau tanah airnya. Hijrahnya beliau ke kota Madinah bersama para sahabatnya, bukanlah karena keinginannya untuk sengaja meninggalkan tanah airnya, akan tetapi karena perintah dari Allah SWT sebagai bagian dari strategi dakwah dan sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk melaksanakan ajaran-Nya, sehingga terbentuklah masyarakat Madinah yang penuh dengan kedamaian, ketenangan, persamaan, kesejahteraan, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Dan memang telah tercatat dengan tinta emas dalam sejarah, bahwa Madinah adalah tempat persemaian yang subur untuk menanamkan nilai-nilai kebajikan, menumbuhkan dan melahirkan Rijal ad-Dakwah (para kader dakwah) yang andal. Para kader yang memiliki loyalitas sangat tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka mampu menebarkan benih-benih ukhuwwah islamiyyah yang sangat solid atas dasar iman, takwa, mahabbah (cinta) dan itsar (mendahulukan kepetingan orang lain di atas kepentingan dirinya sendiri).

Hal itu sejalan dengan firman Allah dalam QS Al-Hasyr ayat 8-9 yang artinya: “(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya.

Mereka itulah orang-orang yang benar (8) Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (9).”

Melakukan Perbaikan
Kecintaan kepada tanah air (kota Makkah), diwujudkan oleh Rasulullah Saw dalam bentuk islah atau perbaikan dalam seluruh tatanan kehidupan dan berawal dari perbaikan akidah salimah. Beliau tidak menginginkan saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air memiliki tatanan kehidupan yang hancur berantakan, moral dan akhlak yang rusak dan bejat, sering terjadi perselisihan, pertentangan, dan pertumpahan darah hanya karena persoalan-persoalan yang sepele, misalnya hanya saling ejek-mengejek asal keturunan dan asal kesukuan.

Beliau tidak rela melihat saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air menyembah kepada berhala-berhala yang mereka buat sendiri dari adonan roti yang kemudian mereka jejerkan sendiri di depan Ka’bah yang mulia (Ka’bah Musyarrofah). Penyembahan kepada berhala yang demikian itu hanyalah akan menurunkan dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, karena berhala itu tidak mampu memberikan manfaat dan madharat sedikit pun juga.

Persis seperti sarang atau rumah laba-laba yang sama sekali tidak bisa melindunginya ketika kedinginan atau kepanasan. Hal ini seperti digambarkan oleh Allah dalam QS Al-Ankabut ayat 41 yang artinya: “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.”

Demikian pula, beliau tidak rela melihat saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air yang hancur karena pergaulan bebas, perzinahan, judi, dan minuman keras atau khamr. Karena perbuatan-perbuatan tersebut meskipun kelihatannya ada manfaatnya, terutama dari sudut ekonomi (penghasilan dan pendapatan), tetapi akibat negatif dan madharatnya jauh lebih besar dan lebih berbahaya. Hal ini sejalan dengan firman-Nya dalam QS Al-Baqarah ayat 219 yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.

Cinta tanah air
Sebagai pengikut dan umat Rasulullah Saw, seluruh kaum Muslimin di negara manapun mereka berada, termasuk di Indonesia pasti akan mencintai tanah airnya sendiri. Bagi kaum Muslimin, kecintaan pada tanah air adalah bagian dari akidah dan keyakinan, bukan semata-mata karena unsur kebangsaan atau nasionalisme. Sejarah telah menunjukkan, bahwa yang paling gagah berani merebut kemerdekaan Republik Indonesia dari tangan penjajah adalah para ulama, para kiai, para santri, dan kaum Muslimin secara keseluruhan. Bagi mereka, mengusir penjajah dan merebut kemerdekaan adalah bagian dari jihad yang harus dilakukan dengan kesungguhan. Mati dalam mengusir penjajah adalah bagian dari syahid yang sangat tinggi nilainya dalam pandangan Allah SWT.

Setelah kemerdekaan sampai dengan saat sekarang pun, kaum Muslimin tetap konsisten mencintai tanah airnya. Hanya saja tidak sekadar diungkapkan secara verbal dalam bentuk kata-kata, akan tetapi diwujudkan dalam upaya perbaikan tatanan kehidupan bangsa. Perbaikan dalam bidang ekonomi, pendidikan, politik, sosial dan budaya dan bidang-bidang lainnya, termasuk dalam bidang akhlak dan moral.

Kaum Muslimin sangat menjaga betul akhlak dan moral bangsa, tidak ingin dihancurkan oleh kekuatan apa pun dan dari mana pun datangnya. Karena itu, sering kaum Muslimin bereaksi keras terhadap upaya penghancuran moral bangsa, seperti rencana diterbitkannya majalah Playboy ataupun lokalisasi perjudian dan perzinahan. Reaksi keras ini sebagai bagian dari kewajiban amar makruf-nahi munkar dan sebagai perwujudan dari kecintaan terhadap tanah air. Sebaliknya, jika diam atau bahkan mendukung hal-hal negatif tersebut di atas, walaupun mengaku cinta tanah air yang diungkapkan secara verbal, maka pada hakikatnya adalah sedang menebarkan kebencian dan kehancuran pada bangsa dan tanah airnya sendiri.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab.